Dia yang jadi Aku
Kamu sama seperti laut, indah, menyegarkan, Aku suka, namun aku takut. Terkadang aku terlalu percaya diri akan bisa mendekatimu walau berjuang bersama waktu. Kemarin sih aku yakin, perlahan memudar karna waktu tak kunjung menjawab. Hahahahah
Begitulah kalau jadi aku..
Laut...
kamu pasti setuju kalau laut itu membawa kesan damai. Laut itu sesuatu yang bisa kamu percaya ketika menceritakan masalahmu. Tenang, dia tidak akan menceritakan ke siapapun, dia penyimpan rahasia terbaikmu.
Laut...
Kelihatan sih sangat tenang, tapi dia sangat berbahaya bagiku. Aku kurang ahli dalam menaklukkan gelombangnya. Apalagi ketika aku berhadapan dengannya, aku akan gugup parah, aku akan terbawa arusnya, dan menenggelamkanku dalam ketakutan yang hebat. Tapi aku harus akui, dia sangat indah, dan aku akan terus mengatakan dia sangat indah, bisa karna aku sangat mengaguminya, bisa juga karna aku menyukainya sangat banyak.
Aku....
Halnya laut, sepertinya kalian sama, hadir sebagai yang terindah, memberikan kesan sempurna, indah. Aku suka laut sama seperti aku suka sama kamu, tapi aku harus menghindari hal hal yang ku suka, karna ntah kenapa saat aku suka seringkali aku terjebak di dalamnya. Aku tipe obsesi, pengagum yang berlebihan namun pecinta yang setia. Bagiku salah besar ketika harus bertemu. Berhadapan sambil menyapa kebiasaan, membicarakan hal-hal yang menarik sambil menyeduh secangkir kopi hangat. Apalagi sesekali pandangannya jatuh tepat di mataku, rasanya sangat risih. Koordinasi jantung dan mata secara refleks berkata hal yang sama. Wow, suatu kebetulan atau kebiasaan ku yang buruk, mudah sekali terpesona yang membuatku terkesan sedikit murahan. Ntah kenapa kali ini berbeda, kata murahan itu meningkat satu level di atasnya, sepertinya aku selalu tak sabar menunggu apa selanjutnya yang akan kita bahas. Hal yang tidak terlalu penting menjadi sangat menarik. Aku gak mengatur gaya berkata, gak berdandan menor seperti yang biasa ku lakukan, dan cenderung terlihat bodoh ketika ditanya ini itu namun jawabannya gak mencerminkan diriku. Seketika aku ingat, ini bukan aku. Aku biasanya sangat jaim, sangat menutupi apapun yang menjadi kelemahanku. Ya, kali ini berbeda. Rasanya gak ingin melihat detik jam yang tertempel pada dinding tepat di atas kepalanya, gak ingin melihat apa yang ada di sekitarku bergerak. Aku lihai sekali memperhatikannya, berbicara, menggerakkan tangannya, caranya mengambil dan menyeruput kopi, bahkan sampai cara dia berkedip. Detak jantungku semakin kencang ketika ucap keluar dari bibirnya, dan aku hanya fokus pada dirinya sampai lupa bahwa diriku berada di alam sadar yang berbeda. Murahan sekali bukan?
Ya....
Murahan.
Kesan murahan itu perlahan muncul seiring usiaku yang beranjak semakin tua. Apalagi hidup di zaman milenial yang semua serba kece. Menjadi anak hits yang kekinian memperlihatkan kalau hidup itu begitu bahagia. Pergi ke tempat wisata yang wow, makan di cafe yang isinya anak gaul, pakai celana denim robek sambil nge’vape, ngobrol sesuatu yang paling update yang terkadang obrolan itu garing karna status nongkrong yang harus dipublis di sosial media. Tentunya dong, menjadi anak kekinian itu harus pencitraan di sosial media. Nah, bagaimana dengan aku yang terkesan murahan? Sepertinya ada yang salah dengan apa yang kulakukan, pertemanan yang semakin menyempit, keramaian yang mulai membosankan, hobi ngobrol yang mulai berkurang. Terus, bagaimana bisa, semua yang kulakukan terlihat murahan? Sebenarnya begini, setiap orang baru yang ingin berteman, saya welcome. Saya usahakan asik jika memang sesuai kebutuhan. Tapi, kadang kala beberapa orang menganggapnya berbeda, sehingga mereka tak sedikit yang menganggap ku sombong sehingga pertemanan bukannya semakin luas malah semakin menyempit. Hahha
Sejujurnya aku takut pertemuan, seperti karma
Dalam pertemuan, akan ada perpisahan
Mereka pergiiiiiii.....
Begitu terus sampai esok dan esok!!
Nobody’s stay!!!
Jadi harus tetap murahan....... (MURAH :D)